Selasa, 02 Mei 2023

Akar Karakter dalam Kurikulum Pendidikan Indonesia Kini

Selamat menjalani aktivitas dimanapun anda berada. Bulan Mei menjadi penanda bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa terpelajar. Tanggal 2 Mei 1885 lahir sosok pelopor pelajar modern yang kita kenal sebagai hari lahir Ki Hajar Dewantara. Etos juang beliau dalam berbagai bidang kehidupan layak kita akui dan kita dukung secara penuh, sehingga bangsa Indonesia pun mengukuhkan Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Berdasarkan etika perhargaan terhadap perjuangan Ki Hajar Dewantara yang getol memperjuangkan agar anak bangsa menjadi terpelajar dan merdeka dalam berkembang sejak masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan pada awal-awal dasawarsa setelah Indonesia merdeka. Pengejawantahan pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan secara langsung dapat dilihat melalui pokok-pokok karakter dalam perguruan Taman Siswa yang tidak lain adalah sekolah yang didirikan oleh beliau. Hal yang menjadi fokus utama pengembangan pelajar adalah karakter yang baik. Pendidikan  karakter menurut  Lickona  merupakan  suatu  usaha  yang  disengaja untuk  membantu seseorang  sehingga ia dapat memahami, memperhatikan,  dan melakukan  nilai-nilai  etika  yang  inti.  Lickona  juga  membagi komponen-komponen karakter yang baik sebagai berikut (Thomas  Lickona, 2013: 98): Pengetahuan Moral, Perasaan Moral, dan Tindakan Moral. 

Melalui pembaharuan terhadap model pawiyetan (pesantren) yang diproyeksikan sebagai sistem nasional dan berorientasi pada nilai budaya, kebangsaan, dan kerakyatan, lahirlah  Taman  Siswa.  Dalam  model  ini,  mencakup  tiga  wilayah  pendidikan  yang dikenal dengan “Tripusat  Pendidikan”. Tripusat pendidikan menurut Ki  Hadjar Dewantara ialah, “di dalam hidupnya anak-anak ada tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya, yaitu: alam keluarga, alam  perguruan, dan alam pergerakan pemuda  (Ki Hadjar Dewantara, 2004: 70). Hal ini yang kemudian dikenal dewasa ini dengan nama tripusat pendidikan atau trilogi pendidikan. Trilogi pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara adalah bagaimana peran keluarga, sekolah dan masyarakat mampu menjadi motor pembentukan karakter dan  mentalitas anak (Moh.  Yamin, 2009:  184). Tiga unsur di atas memiliki tanggung jawab yang berbeda dalam membentuk karakter yang  ada  pada  diri  seorang  anak  (Moh.  Yamin,  2009:  186).

Berdasarkan faktor pembentuk karakter pelajar tersebut, membuat Ki Hadjar Dewantara tidak memandang perguruan atau sekolah sebagai lembaga yang memiliki orientasi mutlak dalam proses pembentukan karakter anak. Justru beliau memandang pendidikan sebagai suatu proses yang  melibatkan unsur-unsur lain  di luar sekolah.  Tiap-tiap pusat  harus mengetahui kewajiban masing-masing, atau kewajibannya sendiri- sendiri, dan mengakui hak pusat- pusat lainnya yaitu: alasan keluarga untuk mendidik budi pekerti dan laku sosial. Alam sekolah  sebagai  balai  wiyata  bertugas  mencerdaskan  cipta,  rasa,  dan  karsa  secara seimbang. Sedangkan alasan pemuda atau masyarakat untuk melakukan penguasaan diri dalam pembentukan watak atau karakter. Tujuan utama pendidikan karakter adalah mencetak anak bangsa yang unggul dan membawa perubahan baik untuk bangsa juga negara. Kita dapat mengambil satu contoh negara maju, dan faktor pendukungnya adalah melalui pendidikan karakter, yakni Jepang. 

Di Jepang pendidikan karakter tidak hanya dilakukan oleh sekolah saja, akan tetapi juga dari keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekitar ikut bertanggung jawab atas pembentukan karakter tersebut.

Pendidikan karakter di Jepang ditanamkan melalui pendidikan moral atau dapat disebut juga dengan doutoku-kyouiku. Doutoku-kyoiku berasal dari kata (doutoku) yang berarti moral, dan kata (kyouiku) yang berarti pendidikan. Doutoku-kyouiku merupakan pembelajaran moral yang diberikan kepada siswa melalui sekolah, yang dimulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga setingkat Sekolah Menengah Atas. Melalui doutoku-kyoiku ini lah tercipta karakter bangsa Jepang yang dikenal sebagai bangsa yang memiliki ciri khas dengan karakter disiplin, ulet, jujur, pekerja keras, bertoleransi tinggi, dan sebagainya.

Doutoku-kyoiku ini diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan dan tak terpisahkan dalam mata pelajaran. Berbeda dengan di Indonesia, pendidikan moral ini diajarkan tidak hanya sebatas teori saja, melainkan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini seirama dengan petuah dari Budayawan Indonesia Emha Ainun Najib yang mengatakan pendidikan yang nyata adalah melalui Universitas Kehidupan, yang maksudnya adalah kehidupan merupakan pendidikan itu sendiri. Menurut Mulyadi (2014), pendidikan moral atau doutoku-kyoiku dibagi menjadi empat aspek, yaitu sebagai berikut:

Pertama yakni Regarding self, meliputi: moderation (pengerjaan mandiri), diligence (bekerja keras secara mandiri), courage (pengejaan sesuatu secara benar dengan keberanian), sincerity (bekerja dengan ketulusan), freedom and order (nilai kebebasan dan kedisiplinan), self-improvement (pemahaman terhadap diri sendiri), love for truth (mencintai dan mencari kebenaran).

Kedua yakni Relation to others, meliputi: courtesy (pemahaman terhadap tata sopan santun), consideration and kindness (memperhatikan kepentingan orang lain, baik hati, dan empati), friendship (memahami, dan menolong orang lain), thank and respect (menghargai dan menghormati orang-orang yang telah berjasa kepada kita), modesty (menghargai orang lain yang berbeda ide dan status).

Ketiga yakni Relation to the nature and the sublime, meliputi: respect for nature (mengenal dan cinta alam), respect for life (menghargai kehidupan dan makhluk hidup), esthetic sensitivity (memiliki sensitivitas estetika dan perasaan), nobility (mempercayai kekuatan serta menemukan kebahagiaan sebagai manusia).

Keempat yakni Relation to group and society, meliputi: public duty (menjaga janji dan menjalankan kewajiban dalam masyarakat), justice (jujur dan tak berpihak tanpa diskriminasi, prejudice dan keadilan), group participation and responsibility (keinginan untuk berpartisipasi sebagai grup, menyadari perannya dengan bekerja sama), industry (memahami makna bekerja keras, dan keinginan untuk bekerja), respect for family members (mencintai dan menghormati guru dan orang di sekolah dan kampus), contribution to society (menyadari kedudukannya dalam masyarakat setempat), respect for tradition and love of nation (tertarik kepada budaya dan tradisi bangsa, mencintai bangsa), respect for other culture (menghargai budaya asing dan manusianya).

Melihat pedoman pendidikan karakter ala Jepang tersebut ketika ditelaah tidak jauh berbeda dengan pedoman kurikulum tanah air. Pada tahun ajaran 2022/2023 ini berlaku Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka yang berjalan bersamaan di jenjang pendidikan yang berbeda. Tentu dua kurikulum yang dijalankan sekarang tersebut memiliki tujuan karakter pelajar yang dicapai. Kurikulum 2013 mengusahakan pendidikan karakter mengatur tata kelakuan manusia pada aturan khusus, hukum, norma, adat kebiasaan dalam bidang kehidupan sosial manusia yang memiliki pengaruh sangat kuat pada sikap mental (mental attitude) manusia secara individu dalam aktivitas hidup. Ada lima nilai karakter  pada kurikulum 2013 yaitu religius, nasionalis, integritas, mandiri, gotong royong. Dalam kurikulum merdeka ini, berubah menjadi enam nilai karakter sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila. Hal tersebut dicapai dari 3 ranah yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Sedangkan dalam kurikulum merdeka, ada enam nilai karakter sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila yakni beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bernalar kritis, bergotong royong, mandiri, dan kreatif. 

Baik Kurikulum 2013 maupun Kurikulum Merdeka, mengandung tujuan yang mulia yakni mencerdaskan anak bangsa sesuai dengan isi Pembukaan UUD 1945. Anak bangsa yang cerdas adalah anak bangsa yang unggul. Unggul adalah memiliki kemampuan kepemimpinan yang baik. Bahwa manusia diciptakan sebagai pemimpin di dunia. Hal ini tentunya senada dengan Trilogi Kepemimpinan Ki Hajar Dewantara yakni ing Ngarsa Sung Tuladha, ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani yang artinya pendidikan kepemimpinan bangsa Indonesia akan berada di jalur yang tepat jika dilaksanakan dengan praktek dari depan memberi contoh, dari tengah memberi semangat, dan dari belakang memberi dorongan atau dukungan. Berkaitan dengan pernyataan manusia adalah makhluk sosial, maka manusia harus memenuhi fungsi sosialnya. Oleh karena itu kita sebagai anak bangsa yang mengemban tugas membangun bangsa dan negara yang lebih baik (adil dan makmur) sudah sepatutnya sadar diri (secara kritis) untuk menjadi pribadi dengan karakter yang baik dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata.Sejalan dengan hal tersebut, KH. Nurul Huda Djazuli dari Ploso-Kediri yang telah puluhan tahun mengabdikan diri dalam dunia pendidikan agama selalu memberikan wejangan agar jadilah manusia yang ilmiyah-amaliyah (berilmu dan berkarya) dan amaliyah-ilmiyah (berkarya dengan ilmu), dengan demikian akan menjadi insan yang benar-benar berguna. Hal ini dikarenakan manusia yang baik adalah manusia yang mampu memberikan manfaat baik bagi sesama. 


Oleh: Robert Tajuddin

Surabaya, 2 Mei 2023

Minggu, 21 November 2021

Denganmu

Hadirmu bersama kesejukan.

Bagaimana aku sampai berpeluh? 

Nafasmu terhembus dengan kesegaran.

Bagaimana aku bisa tersengal-sengal? 

Ucapmu terangkai bait kasih sayang.

Bagaimana aku dapat murka? 

Pikiranmu membawa harapan indah.

Bagaimana mungkin aku bercumbu kecemasan? 

Isi hatimu representasi hamba Yang Rahman dan Yang Rahim.

Lalu, bagiamana aku akan berpaling? 


Kata tulang rusuk seakan menjadi satu bagianmu saja.

Keberadaanmu melebihi anganku sebelum bersamamu.

Tekadmu melengkapiku menjadi tanda kebesaran jiwaku yang kecil.

Hati, pikiran, dan jiwamu mengisi relung kekosonganku.

Aku sadar kau hanya makhluk kecilNYA yang tentu kau selaras dengan makhluk - makhlukNYA.

Namun kesederhanaanmu mampu membesarkan kecilnya diriku dalam kebaikan menuju jalanNYA.

Bismillah, tetaplah bersamaku.. 



Cerme - Gresik.

Minggu, 21 November 2021 - 17.00 wib,

dariku untuk Viara Tajuddin.

Senin, 16 November 2009

"SEJARAH PANJANG IBNU AL AJURRUM serta KITAB AL JURUMIYAH"

Syeikh Ibnu Ajurrum

Nama lengkap Syeikh Ibnu Ajurrûm adalah Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Dawud Al-Shinhâji, dengan mengkasrahkan huruf Shod, bukan dengan memfathahkannya seperti yang sering disebutkan oleh sebagian kalangan.
Seperti yang diriwayatkan oleh Al-Hamîdi, kalimat Al-Shinhâji ini dinisbatkan kepada salah satu kabilah yang berada di Negeri Maroko yaitu kabilah Shinhâjah. Nama ini kemudian dikenal sebagai Ibnu Ajurrûm.
Kata Ajurrûm menurut Ibnu ‘Imad Al-Hanbaly dalam kitab Syadzarât Al-Dzahab formulasinya dengan memfathahkan huruf Alif mamdûdah, mendhommahkan huruf Jim dan mentasydidkan huruf Ro.
Syeikh Shalih Al-Asmary telah menyebutkan dalam kitabnya “Idhôh Al- Muqaddimah Al-Ajurrûmiyyah”, bahwa kata Ajurrûm ini setidaknya memiliki lima aksen yang berbeda dalam memformulasikan kelima huruf Hijaiyah ini.
Pertama, riwayat Ibnu ‘Anqô’ yang dikuatkan oleh Imam Suyuthi dalam Bughyat Al-Wu’ât yaitu dengan memfathahkan huruf Alif mamdûdah, mendhommahkan huruf Jim dan mentasydidkan huruf Ro, dibaca Ajurrûm.
Kedua, aksen yang diriwayatkan dari Al-Jamal Al-Muthoyyib yaitu dengan memfathahkan huruf Jim, jadi dibaca Ajarrûm.
Ketiga, pendapat yang dinukil oleh Ibnu Ajurrûm sendiri yang ditulis oleh Ibnu Al-Hajjaj dalam kitab “Al-Aqdu Al-Jauhary” dengan formulasi huruf Hamzah tanpa dipanjangkan yang difathahkan, huruf Jim yang disukunkan dan huruf Ro tanpa syiddah jadi dibaca Ajrûm.
Keempat, Aksen yang ditulis oleh Ibnu Maktum dalam Tadzkirohnya yaitu Akrûm, bukan dengan huruf Jim melainkan dengan huruf Kaf.
Kelima, yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Anqô’ bahwa banyak orang membacanya dengan menghapus huruf Hamzahnya sehingga dibaca Jurrûm.
Kata Ajurrûm ini, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Anqô’ dan dikuatkan oleh Imam Shuyuthi dan Ibnu Al-Hâj, berasal dari bahasa Barbarian -sebuah bangsa yang mayoritas kabilahnya menempati pegunungan di wilayah Afrika bagian selatan- yang berarti Al-Faqîr Al-Shûfy.
Ibnu Ajurrûm dilahirkan di kota Fasa -sebuah kota besar di Negara Maroko– pada tahun 672 H dan wafat di kota itu pada hari Senin ba’da Dzuhur, 20 Shafar 723 H.
Beliau menimba ilmu di Fasa, hingga pada suatu hari beliau bermaksud untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Ketika melewati Mesir, beliau singgah di Kairo dan menuntut ilmu kepada seorang ulama nahwu termasyhur asal Andalusia, yaitu Abû Hayyân -pengarang kitab Al-Bahru Al-Muhith- sampai mendapat restu untuk mengajar dan dinobatkan sebagai salahsatu imam dalam ilmu gramatikal bahasa arab atau ilmu nahwu.
Selain terkenal sebagai ulama nahwu, beliau juga terkenal sebagai ahli fikih, sastrawan dan ahli matematika, di samping itu beliau menggeluti ilmu seni lukis, kaligrafi dan tajwid. Karya yang dipersembahkannya berupa kitab-kitab yang ia karang dalam bentuk arjuzah, bait-bait nadzam dalam ilmu qiro’at dan lain sebagainya. Dua diantara karyanya yang terkenal adalah kitab “Farâ’id Al-Ma’âni fî Syarhi Hirzi Al-Amâni dan kitab “Al-Muqaddimah Al-Ajurrûmiyyah”.
Identitas Kitab
Dalam penamaannya kitab ini dikenal dengan nama yang dinisbatkan kepada pengarangnya, sehingga kitab ini dikenal dengan nama Al-Ajurrûmiyyah atau Al-Jurmiyyah. Sebagaimana tatacara penisbatan dalam gramatikal bahasa arab bahwa murokkab idhofi (kata kompleks) yang disandarkan seperti kata Ibnu Ajurrûm pada bab nisbat biasanya dihapus awal katanya dan dinisbatkan pada kata kedua. (lihat Alfiah Ibnu Malik, Bab Nasab bait 870-871).
Kitab ini dikenal juga dengan nama Al-Muqaddimah Al-Ajurrûmiyyah atau Muqaddimah Ibnu Ajurrûm. Dinamakan Muqaddimah karena bentuk karangannya adalah muqaddimah atau dalam bahasa indonesianya bentuk karangan prosa bukan berupa bait-bait nadzam.
Selain tidak memberi nama khusus pada kitabnya, Ibnu Ajurrûm juga tidak menyebutkan kapan kitab ini dikarang sehingga para penulis biography tidak mengetahui secara pasti kapan kitab ini disusun. Hanya saja Ibnu Maktum yang sejaman dengan Ibnu Ajurrûm dalam Tadzkirahnya menyebutkan bahwa kitab itu dikarang sekita tahun 719 H.
Adapun tempat penulisan kitab ini, Al-Râ’i, Ibnu Al-Hâj dan Al-Hamîdy meriwayatkan bahwa Ibnu Ajurrûm mengarang kitab ini sepanjang perjalanan beliau menuju Makkah. Imam Suyuthy dalam Bughyat Al-Wu’ât menyebutkan bahwa Ibnu Ajurrûm berkiblat pada ulama Kufah dalam karangan nahwunya. Hal ini dibuktikan dalam pembahasan asma’ al-khamsah yang merupakan pendapat ulama Kufah, sedang ulama Bashrah menambahkannya menjadi asma’ al-sittah. Hal lain yang mengindikasikan ke-Kufah-annya adalah dengan memasukan “kaifama” dalam jawazim, adalah hal yang ditentang oleh ulama Bashrah.
Kitab ini mendapat apresiasi yang sangat besar baik dari kalangan para ulama maupun para murid. Bentuk apresiasi ini terlihat dari munculnya para ulama yang menciptakan bait-bait nadzam, syarah dan komentar dari kitab ini. Pengarang kitab “Kasyfu Al-Dzunûn” menyebutkan bahwa diperkirakan lebih dari sepuluh kitab yang menjadi nadzam, syarah, dan komentar dari kitab ini.
Diantara yang menciptakan bait-bait nadzam dari kitab ini adalah Abdul Salam Al-Nabrâwy, Ibrahim Al-Riyâhy, ‘Alâ Al-Dîn Al-Alûsy dan yang paling terkenal adalah kitab “Matnu Al-Durrah Al-Bahiyyah” karangan Syarafuddin Yahya Al-‘Imrîthy.
Adapun yang menjadi syarah kitab ini diantaranya adalah;
1.Kitab “Al-Mustaqil bi Al-Mafhumiyyah fi Syarhi Alfadzi Al-Ajurrûmiyyah” yang dikarang oleh Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad Al-Maliky yang dikenal sebagai Al-Ra’î Al-Andalusy Al-Nahwy Al-Maghriby.
2.Kitab “Al-Durrah Al-Nahwiyyah fî Syarhi Al-Ajurrûmiyyah” karangan Muhammad bin Muhammad Abi Ya’lâ Al-Husainy Al-Nahwy.
3.Kitab “Al-Jawâhir Al-Mudhiyyah fî halli Alfâdz Al-Ajurrûmiyyah” karangan Ahmad bin Muhammad bin Abdul Salam.
Al-Hamidy dalam hasyiahnya menceritakan bahwa Ibnu Ajurrûm setelah selesai mengarang kitab ini, beliau melemparkan kitabnya ke laut dan berkata: “Jika kitab ini murni karena mengharap ridha Allah maka ia tidak akan basah”, dan kitab itu tetap kering.
Wallahu a’lam